UNTUK DIKETAHUI DAN DIRENUNGKAN

13 November 2010

Berantas Korupsi?



GEGAP gempita pemberantasan korupsi sepertinya telah usai dan kita bersiap-siap kembali ke 'zaman normal'. Para koruptor boleh berpesta pora dan bersorak-sorai karena telah memenangi sebuah era.

Sepuluh tahun silam bangsa ini dengan heroik bertekad memasuki masa pembersihan. Bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berbagai slogan dikumandangkan.

Banyak aturan dibuat untuk menjerat koruptor. Sejumlah lembaga didirikan untuk mengamputasi korupsi yang sudah menggurita. Tetapi, nafsu serakah menumpuk harta melalui jalan pintas tak pernah surut.

Masa keemasan hanya bertahan singkat. Koruptor kembali dipuji, menjadi idola, dan dicalonkan sebagai gubernur atau bupati.

Ternyata kita tak pernah berhenti memberikan apresiasi kepada koruptor.

Mereka mendapat banyak fasilitas dan keistimewaan. Ada remisi, asimilasi, hak cuti, bahkan pengampunan melalui grasi.

Mereka juga dapat menjalani hukuman di rumah tahanan dan bukan di lembaga pemasyarakatan. Secara periodik mereka mengunjungi keluarga seusai berobat dan bergurau dengan istri, anak, menantu, serta cucu.

Sejujurnya kita sungguh risau dengan semua keistimewaan itu. Belum lagi kini ada tren hukuman bagi koruptor semakin enteng. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), lembaga yang paling ditakuti itu, cenderung menjatuhkan vonis semakin rendah dari waktu ke waktu.

Ismeth Abdullah, mantan Gubernur Kepulauan Riau, divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada Senin (23/8). Dia terbukti merugikan keuangan negara Rp5,4 miliar.

Vonis tertinggi Pengadilan Tipikor pernah dijatuhkan kepada jaksa Urip Tri Gunawan dengan hukuman 20 tahun penjara. Vonis itu mengalahkan rekor sebelumnya yang dijatuhkan kepada mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang dihukum 10 tahun penjara.

Di luar dua vonis monumental itu, Pengadilan Tipikor rata-rata menghukum koruptor empat tahun bui. Dengan vonis seperti itu, koruptor paling lama tinggal di bui 24 bulan karena mendapat berbagai diskon.

Pengadilan Tipikor yang paling ditakuti karena karakter antisuap dikhawatirkan kehilangan kredibilitas dan mulai keropos karena vonis-vonisnya yang rendah. Padahal, vonis Pengadilan Tipikor itulah barometer keseriusan pemberantasan korupsi, meski hingga sekarang, Pengadilan Tipikor belum pernah membebaskan satu pun kasus korupsi.

Tidak hanya hukuman penjara yang kian berkurang, hukuman sosial kepada koruptor pun semakin lemah. Bahkan ada usaha menyembunyikan jejak para penggarong uang negara itu.

Partai politik yang semestinya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi malah menjadi bungker sekaligus tempayan untuk memutihkan kembali koruptor.

Partai Demokrat, misalnya, berusaha keras merehabilitasi Aulia Pohan agar tidak disebut koruptor. Alasannya, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu tidak menerima uang, tetapi hanya ikut membuat kebijakan.

Suka ataupun tidak, saat ini sedang terjadi pelemahan secara sistemik gerakan pemberantasan korupsi di berbagai lini.

Jadi, berantas korupsi? Bohwat. Hopeless.

ANGKA 0 DAN ANGKA

Cobalah sebutkan angka terbesar yang kita ketahui, dan
kalikanlah dengan angka Nol, kita akan mendapatkan
hasil selalu Nol.
Cobalah sebutkan angka terkecil yang kita ketahui, dan bagilah
dengan angka Nol, kita akan mendapatkan hasil tidak terhingga.
Sedang angka 1, berapapun angka yang kita sebutkan, dibagi
ataupun dikali hasilnya selalu sama dengan bilangan itu sendiri.
Angka Nol adalah representasi dari KEIKHLASAN. KEIKHLASAN
selalu membawa/ membuahkan KEBERKAHAN.
Angka Satu adalah representasi kebalikan dari KEIKHLASAN. Dan
KETIDAK IKHLASAN tidak pernah membawa keberkahan.
Manusia dengan kehidupannya, pada awalnya dan masa kanakkanaknya
berada pada posisi angka Nol. Semakin dewasa,
dengan segala pengalaman hidupnya dia akan bergerak naik
turun ke arah 1 atau ke arah 0.
Orang yang mengikuti hawa nafsunya, akan semakin mendekati
ke angka 1. Pada saat mencapai angka 1, dia akan menuhankan
dirinya. Dia akan merasa bahwa dunia sudah digenggamnya
dan itu atas usaha dan jerih payahnya. Tampak sekali
kesombongan selalu muncul dari tingkah lakunya.
Orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya, dia akan
bergerak ke arah Nol, menuju ke fitrahnya kembali. Orang
seperti ini selalu rendah hati (bukan rendah diri), selalu tawadlu,
berserah diri dan bertawakal, baik pada saat diberi kelebihan
maupun kekurangan.
Dari sisi rizki, orang yang berada pada angka 1, apabila misalnya
mendapatkan rizki Rp. 1.000.000,-, maka itulah uang yang
diperolehnya, tidak lebih dan tidak kurang. Nilai keberkahannya
adalah 1 juta rupiah dibagi 1 sama dengan 1 juta rupiah.
Orang yang berada pada angka 0, apabila misalnya
mendapatkan rizki Rp. 1.000.000,-, maka nilai keberkahannya
adalah tak terhingga. Berapapun rizki yang diperoleh, dia
mendapatkan rizki yang berkah tidak terhingga. Orang dengan
angka Nol ini derajat keikhlasannya sudah tertinggi, sehingga
berapapun yang diperoleh, selalu dapat mencukupi dirinya,
bahkan mampu menolong orang lain.
Orang dengan angka 0 hanya terdapat pada para Nabi.
Semakin ikhlas seseorang, semakin mendekat ke arah 0.
Misalnya 0.2, maka nilai keberkahannya adalah 1 Juta dibagi 0.2
= Rp 5.000.000,-
Sebaliknya, pada saat orang mendapatkan halangan dan
cobaan. Orang-orang yang ikhlas, yang memiliki angka 0,
berapapun bilangan halangan dan cobaannya, dikalikan dengan
0 akan sama dengan 0. Dia tidak pernah merasakan beban
apapun terhadap halangan dan cobaan yang menimpanya.
Sedangkan pada orang yang berbilangan 1, dia akan merasakan
sakit, stress dan bahkan sakit jiwa atau berputus asa, karena dia
selalu merasakan gejolak jiwa sesuai dengan besar dan kecilnya
cobaan.
Itulah keikhlasan yang terkait dengan keberkahan. Keikhlasan
adalah dari hati, dan hanya hati kita sendiri dan Allah saja yang
mengetahui.
Maka, seorang penjual es keliling yang menyumbangkan Rp
2.000,- ke kotak Masjid secara ikhlas, sangat jauh nilainya di
depan Allah dibanding dengan seorang Jutawan yang
menyumbangkan uang Rp 1 Juta ke kotak Masjid karena niat
yang lain.
Untuk itu, setiap manusia perlu mengupayakan kembali atau
mengarah ke titik Nol. Maka akan diperoleh ketenangan dan
kecukupan yang telah dijanjikan Allah.

=================================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 2. Hal. 279-281

Kebijakan Ekonomi Yang Keliru

DALAM berbagai kesempatan pemerintah selalu bersuara merdu mengenai kemajuan ekonomi. Yang dipakai sebagai bukti tiada lain indikator makro, yang menunjukkan perekonomian telah berjalan dengan arah yang benar.

Kenyataannya tidak seindah itu. Di bidang ekonomi, sesungguhnya ada berbagai kebijakan yang keliru yang menyebabkan Indonesia tidak mampu meningkatkan daya saingnya. Itulah yang kembali diingatkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Seminar Lustrum XXI Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pekan lalu.

Terdapat tiga kebijakan keliru yang menurut Jusuf Kalla sudah saatnya diakhiri. Ketiga kebijakan itu berkaitan dengan suku bunga kredit perbankan yang tinggi; kebijakan energi yang salah; serta kurang memadainya infrastruktur.

Kebijakan tersebut justru meningkatkan biaya produksi industri dalam negeri, bukan malah membuat efisien.

Suku bunga yang diterapkan perbankan di Indonesia hingga kini tergolong sangat tinggi, yaitu 12%-14%. Padahal, sebagai perbandingan, suku bunga yang diterapkan China hanya 5%.

Di bidang energi, kebijakan yang keliru itu ialah pemerintah lebih memilih mengekspor energi yang dihasilkan ketimbang menggunakannya untuk kepentingan dalam negeri. Padahal, industri di dalam negeri masih membutuhkan sumber energi dalam jumlah besar.

Ekspor gas dan batu bara dalam jumlah lebih dari 50%, misalnya, menjadi sangat aneh di tengah sekaratnya sejumlah pabrik pupuk di dalam negeri karena kekurangan gas. Listrik kita hingga kini tidak efisien, salah satunya juga karena sering kekurangan pasokan batu bara sebagai bahan bakar.

Begitu pula dengan infrastruktur yang terus saja menjadi keluhan karena masih amat buruk. Negeri ini, misalnya, belum memiliki infrastruktur terpadu yang menghubungkan kawasan-kawasan industri dengan pelabuhan besar.

Akibatnya, angkutan barang harus berebut dengan kendaraan pribadi di jalanan yang sempit sehingga waktu tempuh menjadi sangat lama. Belum lagi lambatnya perbaikan jalan atau jembatan yang sering membuat akses menuju pelabuhan terputus.

Masalah-masalah tersebut telah lama terpampang di depan mata. Sejumlah kalangan sudah berkali-kali di berbagai forum mengingatkan pemerintah untuk mengakhiri berbagai kebijakan yang keliru itu.

Tapi, tidak banyak perubahan signifikan. Pemerintah berkali-kali berjanji akan merombak hambatan yang mereka sebut dengan debottlenecking itu.

Nyatanya, berbagai upeti yang membikin ekonomi biaya tinggi, misalnya, masih banyak kita temui. Ekspor gas memang mulai dikurangi, tapi itu pun masih setengah hati. Infrastruktur kita belum banyak berubah.

Pemerintah boleh bangga negeri ini menjadi tujuan investasi paling favorit nomor dua berdasarkan survei United Kingdom Trade Investment sepanjang Juli-Agustus 2010 terhadap 520 eksekutif global.

Namun, kita masih kalah jika dibandingkan dengan Vietnam yang menduduki peringkat pertama survei. Padahal, Vietnam adalah 'negara baru' di bidang ekonomi.

Perkara sudah terpampang di depan mata, tetapi pemerintah membiarkannya, atau tidak tahu harus berbuat apa. Jangankan mencari cara-cara luar biasa untuk mengoreksi kebijakan yang keliru itu, cara-cara biasa saja terus terlambat dilakukan.

Kalau penyakit kronis itu terus dipelihara, jangan meratapi kalau bangsa ini hanya akan menjadi saksi munculnya raksasa-raksasa ekonomi baru.