Sepuluh tahun silam bangsa ini dengan heroik bertekad memasuki masa pembersihan. Bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berbagai slogan dikumandangkan.
Banyak aturan dibuat untuk menjerat koruptor. Sejumlah lembaga didirikan untuk mengamputasi korupsi yang sudah menggurita. Tetapi, nafsu serakah menumpuk harta melalui jalan pintas tak pernah surut.
Masa keemasan hanya bertahan singkat. Koruptor kembali dipuji, menjadi idola, dan dicalonkan sebagai gubernur atau bupati.
Ternyata kita tak pernah berhenti memberikan apresiasi kepada koruptor.
Mereka mendapat banyak fasilitas dan keistimewaan. Ada remisi, asimilasi, hak cuti, bahkan pengampunan melalui grasi.
Mereka juga dapat menjalani hukuman di rumah tahanan dan bukan di lembaga pemasyarakatan. Secara periodik mereka mengunjungi keluarga seusai berobat dan bergurau dengan istri, anak, menantu, serta cucu.
Sejujurnya kita sungguh risau dengan semua keistimewaan itu. Belum lagi kini ada tren hukuman bagi koruptor semakin enteng. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), lembaga yang paling ditakuti itu, cenderung menjatuhkan vonis semakin rendah dari waktu ke waktu.
Ismeth Abdullah, mantan Gubernur Kepulauan Riau, divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada Senin (23/8). Dia terbukti merugikan keuangan negara Rp5,4 miliar.
Vonis tertinggi Pengadilan Tipikor pernah dijatuhkan kepada jaksa Urip Tri Gunawan dengan hukuman 20 tahun penjara. Vonis itu mengalahkan rekor sebelumnya yang dijatuhkan kepada mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang dihukum 10 tahun penjara.
Di luar dua vonis monumental itu, Pengadilan Tipikor rata-rata menghukum koruptor empat tahun bui. Dengan vonis seperti itu, koruptor paling lama tinggal di bui 24 bulan karena mendapat berbagai diskon.
Pengadilan Tipikor yang paling ditakuti karena karakter antisuap dikhawatirkan kehilangan kredibilitas dan mulai keropos karena vonis-vonisnya yang rendah. Padahal, vonis Pengadilan Tipikor itulah barometer keseriusan pemberantasan korupsi, meski hingga sekarang, Pengadilan Tipikor belum pernah membebaskan satu pun kasus korupsi.
Tidak hanya hukuman penjara yang kian berkurang, hukuman sosial kepada koruptor pun semakin lemah. Bahkan ada usaha menyembunyikan jejak para penggarong uang negara itu.
Partai politik yang semestinya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi malah menjadi bungker sekaligus tempayan untuk memutihkan kembali koruptor.
Partai Demokrat, misalnya, berusaha keras merehabilitasi Aulia Pohan agar tidak disebut koruptor. Alasannya, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu tidak menerima uang, tetapi hanya ikut membuat kebijakan.
Suka ataupun tidak, saat ini sedang terjadi pelemahan secara sistemik gerakan pemberantasan korupsi di berbagai lini.
Jadi, berantas korupsi? Bohwat. Hopeless.