UNTUK DIKETAHUI DAN DIRENUNGKAN

13 November 2010

Kebijakan Ekonomi Yang Keliru

DALAM berbagai kesempatan pemerintah selalu bersuara merdu mengenai kemajuan ekonomi. Yang dipakai sebagai bukti tiada lain indikator makro, yang menunjukkan perekonomian telah berjalan dengan arah yang benar.

Kenyataannya tidak seindah itu. Di bidang ekonomi, sesungguhnya ada berbagai kebijakan yang keliru yang menyebabkan Indonesia tidak mampu meningkatkan daya saingnya. Itulah yang kembali diingatkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Seminar Lustrum XXI Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pekan lalu.

Terdapat tiga kebijakan keliru yang menurut Jusuf Kalla sudah saatnya diakhiri. Ketiga kebijakan itu berkaitan dengan suku bunga kredit perbankan yang tinggi; kebijakan energi yang salah; serta kurang memadainya infrastruktur.

Kebijakan tersebut justru meningkatkan biaya produksi industri dalam negeri, bukan malah membuat efisien.

Suku bunga yang diterapkan perbankan di Indonesia hingga kini tergolong sangat tinggi, yaitu 12%-14%. Padahal, sebagai perbandingan, suku bunga yang diterapkan China hanya 5%.

Di bidang energi, kebijakan yang keliru itu ialah pemerintah lebih memilih mengekspor energi yang dihasilkan ketimbang menggunakannya untuk kepentingan dalam negeri. Padahal, industri di dalam negeri masih membutuhkan sumber energi dalam jumlah besar.

Ekspor gas dan batu bara dalam jumlah lebih dari 50%, misalnya, menjadi sangat aneh di tengah sekaratnya sejumlah pabrik pupuk di dalam negeri karena kekurangan gas. Listrik kita hingga kini tidak efisien, salah satunya juga karena sering kekurangan pasokan batu bara sebagai bahan bakar.

Begitu pula dengan infrastruktur yang terus saja menjadi keluhan karena masih amat buruk. Negeri ini, misalnya, belum memiliki infrastruktur terpadu yang menghubungkan kawasan-kawasan industri dengan pelabuhan besar.

Akibatnya, angkutan barang harus berebut dengan kendaraan pribadi di jalanan yang sempit sehingga waktu tempuh menjadi sangat lama. Belum lagi lambatnya perbaikan jalan atau jembatan yang sering membuat akses menuju pelabuhan terputus.

Masalah-masalah tersebut telah lama terpampang di depan mata. Sejumlah kalangan sudah berkali-kali di berbagai forum mengingatkan pemerintah untuk mengakhiri berbagai kebijakan yang keliru itu.

Tapi, tidak banyak perubahan signifikan. Pemerintah berkali-kali berjanji akan merombak hambatan yang mereka sebut dengan debottlenecking itu.

Nyatanya, berbagai upeti yang membikin ekonomi biaya tinggi, misalnya, masih banyak kita temui. Ekspor gas memang mulai dikurangi, tapi itu pun masih setengah hati. Infrastruktur kita belum banyak berubah.

Pemerintah boleh bangga negeri ini menjadi tujuan investasi paling favorit nomor dua berdasarkan survei United Kingdom Trade Investment sepanjang Juli-Agustus 2010 terhadap 520 eksekutif global.

Namun, kita masih kalah jika dibandingkan dengan Vietnam yang menduduki peringkat pertama survei. Padahal, Vietnam adalah 'negara baru' di bidang ekonomi.

Perkara sudah terpampang di depan mata, tetapi pemerintah membiarkannya, atau tidak tahu harus berbuat apa. Jangankan mencari cara-cara luar biasa untuk mengoreksi kebijakan yang keliru itu, cara-cara biasa saja terus terlambat dilakukan.

Kalau penyakit kronis itu terus dipelihara, jangan meratapi kalau bangsa ini hanya akan menjadi saksi munculnya raksasa-raksasa ekonomi baru.

No comments:

Post a Comment